Selasa, 31 Juli 2012

SASTRA CYBER DAN SEJARAH SASTRA INDONESIA


Oleh: Sri Widayati



A. Pendahuluan

 Sastra cyber sudah muncul beberapa tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 2001. Kehadirannya ditengarai dengan terbitnya buku  Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001. Graffiti Gratitude merupakan buku antalogi puisi cyber. Penerbitan antalogi tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS).
 Kemunculan sastra cyber dalam kancah kesusasteraan Indonesia ditanggapi dan diapresiasi secara berbeda-beda. Bahkan, hal ini sempat menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Di satu pihak ada yang menyambut secara positif, tetapi di pihak lain ada yang menyambutnya secara negatif. Disambut secara positif karena kehadiran sastra cyber dapat dengan mudah dan cepat diakses oleh kalangan yang lebih luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain itu, kehadiran sastra cyber melalui media internet memberi peluang bagi penulis yang bergiat di bidang sastra untuk memberikan sumbangsihnya,  baik berupa karya maupun pemikiran-pemikiran, tanggapan-tanggapan terhadap karya sastra. Disambut negatif karena sastra cyber dianggap tidak lebih dari sekadar upaya main-main saja. Sastra ini juga dikatakan sebagai sastra yang kualitasnya sangat kurang. dan tidak memberikan kemajuan yang berarti dalam khasanah kesusasteraan Indonesia.
    Lepas dari persoalan di atas, sebenarnya berkembangnya teknologi, mau tidak mau akan berpengaruh besar terhadap budaya suatu bangsa, tidak terkecuali sastra.  Tentunya berkembangnya teknologi di satu sisi akan berdampak positif dan di sisi lain akan membawa dampak yang negatif. Begitu juga terhadap kehadiran sastra melalui media elektronik. Namun, tentu saja kita tidak perlu merisaukan sastra cyber yang  kata sebagian pemerhati sastra ditulis ’semau gue’ karena bagaimanapun juga sastra yang  demikian akan tereleminasi dengan sendirinya. Dengan kata lain, waktu yang akan menentukan, apakah karya-karya tersebut akan tetap eksis atau tidak.
         Hadirnya sastra cyber melalui media elektronik sebaiknya jangan dipandang sebelah mata.  Bagaimanapun juga tidak adil jika semua karya yang ditulis melalui media tersebut  diklaim sebagai tulisan yang tidak bermutu. Seharusnya, sastra cyber tetap  dapat diterima secara positif karena mau tidak mau, sastra tersebut akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia. Melalui media elektronik diharapkan paling tidak untuk ke depannya akan memunculkan banyak kemungkinan baru yang dilakukan oleh para penulis. Dikatakan oleh Suryadi (dalam Situmorang, 2004:9) bahwa jika selama ini para sastrawan hanya menampilkan karyanya pada buku, majalah, koran—yang berwujud kertas—maka saat ini ditemukan karya-karya mereka yang tersebar di media internet. Sebuah media maya yang menghubungkan satu komputer dengan berjuta-juta komputer lainnya.
    Hadirnya internet sebagai media sastra cyber tentu mengundang tanya, akankah eksistensi sastra cyber akan diakui dalam sejarah sastra? Akankah ia  dicatat  sebagai bagian dari sejarah sastra Indonesia? Untuk hal tersebut akan dilihat bagaimana komentar-komentar para pemerhati sastra. Namun, sebelum itu akan diuraikan secara sekilas tentang cyber sastra.

B. Cyber Sastra
Cyber dapat diartikan ’maya’, sastra cyber atau cyber sastra merupakan sastra yang lahir sebagai dampak  perkembangan teknologi. Jika sastra sebelumnya menggunakan koran dan majalah sebagai mediumnya, sastra cyber mediumnya elektronik (internet). Dibandingkan  sastra koran atau majalah,  dalam sastra cyber, penulis mengalami kemudahan di dalam pemunculan karyanya di hadapan pembaca karena tidak ada seleksi yang ketat terhadap sastra tersebut. Oleh karena itu, kemungkinan besar medium elektronik sebagai sarana pengungkapan ekspresi seseorang akan mengalahkan dan menggeser medium yang ada sebelumnya.  Semua itu terjadi karena pesatnya perkembangan teknologi.
   Berkembangnya teknologi terutama internet dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi yang besar pengaruhnya dalam kehidupan ini. Salah satu pengaruhnya adalah terhadap dunia sastra.  Seperti telah kita ketahui bahwa sastra merupakan  bagian dari kebudayaan suatu bangsa. Kebudayaan suatu bangsa tentu akan  mudah berkembang, seiring  dengan berkembangnya teknologi. Dengan adanya internet, paling tidak dapat dimanfaatkan untuk membantu perkembangan sastra dengan lebih baik.Internet dengan sendirinya memberi ruang baru bagi seseorang untuk berkarya. Sebelum media ini muncul, koran dan majalah adalah media yang digunakan penulis untuk menyalurkan bakat atau hobinya. Namun, terbatasnya ruang dalam media  tersebut dapat dikatakan tidak banyak membantu perkembangan sastra dengan baik.
 Kecanggihan komputer dan ketinggian daya kreatif memberikan hasil yang luar biasa, tidak terkecuali sastra. Sastra cyber  tentunya akan memiliki prospek  yang semakin cerah tidak saja di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia yang lain. Sastra cyber memberikan kesempatan yang luas, tidak saja bagi penulis untuk menulis karya sastra, tetapi juga pada pembaca untuk melakukan apresiasi  sastra secara leluasa. Namun, kehadirannya telah membawa polemik yang cukup ramai. Hal tersebut disebabkan masih ada yang membedakan sastra dari segi medianya. Ada sastra majalah, koran, dan cyber. Sastra majalah dan koran dianggap lebih baik atau lebih tinggi mutunya daripada sastra cyber. Hal ini disebabkan sebuah karya yang terbit dalam kedua media tersebut harus melewati seleksi yang ketat. Berbeda dengan sastra cyber, yang tidak melewati seleksi yang ketat seperti yang tampak pada kedua media tersebut. Selain masalah media yang diperdebatkan, juga anggapan adanya hegemoni para senior yang tidak menginginkan eksistensinya dilanggar oleh penulis yunior. Oleh karena itu, berikut akan ditampilkan  polemik yang muncul berkaitan dengan  hadirnya sastra cyber.

 Polemik Sekitar Sastra Cyber
            Tidak sedikit pandangan dan komentar yang dilontarkan para pemerhati sastra terhadap kehadiran sastra cyber di Indonesia. Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada yang menanggapi secara positif  maupun negatif terhadap sastra cyber.  Berikut akan ditampilkan pandangan sekitar sastra cyber.
            Dikatakan oleh Ahmadun Yosi Herfanda (redaktur koran Republika)  dalam salah artikel yang dimuat dalam Republika dengan judul ”Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah”. Dalam artikel tersebut Ahmadun mengatakan  bahwa sastra yang  dituangkan melalui media cyber cenderung hanyalah sebagai ”tong sampah.”  Dikatakan demikian, karena menurutnya sastra cyber merupakan  karya-karya yang tidak tertampung atau ditolak oleh media sastra cetak (2001). Lebih lanjut dikatakan  bahwa media cyber membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif yang ”memberontak” terhadap kemapanan – terhadap estetika yang lazim—dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak. Sebab di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreatif, yang seliar-liarnya sekalipun, yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antalogi sastra.  
            Selanjutnya Sutarji Coulsoum Bachri (dalam Efendi, 2004:90) yang dikenal sebagai presiden ”Penyair Indonesia” mengatakan dengan cukup pedas bahwa ’tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan’. Pernyataan ini dilontarkan berkaitan dengan cover yang tampak pada buku antalogi sastra cyber  yaitu Graffiti Gratitude yang dipandang kurang baik sehingga buku itu tidak layak untuk dijual.
            Masih berkaitan dengan sastra cyber, Maman S. Mahayana (dalam Situmorang, 2004:62) menyatakan bahwa kualitas penyair-penyair cyber masih dipertanyakan, sebagian masih tergolong sebagai penulis yang baik, belum sebagai penyair. Kemudian Juniarso Ridwan, seorang penyair dari Bandung, (dalam Situmorang, 2004:255) menanggapi pernik-pernik yang tampak pada sastra cyber seperti background, backsound, dan variasi yang terdapat pada kata-kata. Ia  mengatakan bahwa apa artinya loncatan-loncatan huruf, selain memperlihatkan kecanggihan teknologi digital. Apa pengaruhnya suara-suara musik yang secara esensial tidak terkait dengan teks yang muncul, selain hanya untuk konsumsi telinga yang secara historis-biologis sulit untuk melakukan korespondensi makna.  
             Berkaitan dengan pernyataan Ahmadun, Sutarji Coulsoum Bachri, Maman S. Mahayana, dan Juniarso Ridwan di atas timbul reaksi dari berbagai pihak, antara lain dari  Sutan Iwan Soekri Munaf (2004:95). Ia  mengatakan  bahwa penilaian yang dilakukan  Ahmadun adalah penilaian yang terburu-buru. Ahmadun hanya memberikan sampel yang terbatas dan rentang waktu yang pendek sehingga perlu dipertanyakan kesahihan penilaian itu. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagai sarana, dunia cyber pada akhirnya sebagaimana alam nyata, akan memberikan ujian tersendiri bagi penyair maupun sastrawan. Hanya penyair dan sastrawan teruji di dunia cyber yang akan menghasilkan karya ”berbunyi”. Tentu saja ”berbunyi” di sini mempunyai batasan sendiri yang disepakati masyarakat dunia cyber.
         Medy Loekito, seorang penyair yang sekaligus presiden  Yayasan Muktimedia Sastra, (dalam Efendi, 2004:278) mengatakan bahwa perdebatan mengenai sastra koran melawan sastra cyber adalah sesuatu yang tidak perlu. Dia mempertanyakan bagaimana sastra koran  merasa atau didudukan sebagai dewa sastra, dan bagaimana sastra cyber dianggap sebagai sastra sampah? Adalah suatu perbincangan yang mengada-ada, kecuali apabila perbincangan antara kedua mazhab tersebut lebih diarahkan pada riset, studi perbandingan, dan analisis, guna mencari jalan untuk pencapaian yng lebih maksimal.
         Asep Sambodja dalam Efendi (2008:164) berpendapat bahwa meskipun sastra cyber dicap sebagai ”Anak Haram”, ataupun ”Tong Sampah”dalam sastra Indonesia, sastra cyber tetap memiliki hak hidup yang sama dengan sastra lainnya. Dikatakan lebih lanjut bahwa kehidupan sastra Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi, masih tergantung pada kata pemegang otoritas. Pemegang otoritas sastra Indonesia pertama di Indonesia adalah pemerintah kolonial Belanda yang pada awalnya membentuk Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian diubah namanya menjadi Balai Pustaka.  Balai Pustaka sebagai milik Belanda dan sebagai pemegang otoritas berjalan dalam kurun yang cukup lama yaitu hampir satu abad sejak tahun 1900. Sambodja (dalam Efendi, 2008:165) mengatakan, apa yang terjadi pada masa Balai Pustaka kini dialami oleh sastrawan generasi cyber. Karya-karya mereka yang dimuat melalui internet diamini sebagai karya yang instan.
         Donny Anggoro  (2008:198) mengatakan bahwa sastra cyber telah lahir dan tidak bisa ditolak kehadirannya dalam kancah kesusasteraan Indonesia modern. Menurutnya perdebatan-perdebatan yang muncul, apakah itu pro atau kontra telah tercatat sebagai aksi sejarah munculnya media alternatif baru penyaluran karya sastra via internet.
         Sawali Tuhusetya (2007) mengatakan bahwa melalui internet setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya, bahkan teks sastra yang tergolong ’sampah’ pun bisa dengan mudah terpublikasikan.  Hal yang hampir mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks, sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari ’brikade’ selera sang redaktur. Hal ini berarti bahwa tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.
Suharjo (dalam Situmorang, 2004:63--64) mengomentari pendapat Maman S. Mahayana. Ia mengatakan bahwa pendapat Maman tidak sepenuhnya keliru, karena sebagian penyumbang naskah Graffiti Gratitude itu tidak berpikir bahwa dirinya adalah penyair atau sastrawan. Mereka lebih senang dan nyaman dipanggil sebagai penulis. Dalam hal ini ia mempertanyakan bilamana seorang dikatakan sebagai sastrawan dan bilamana hanya disebut sebagai  penulis saja. Ia mengutip pendapat William Sloane yang mengatakan bahwa yang membuat sebuah buku menjadi karya sastra adalah pembacanya, bukan kritikus sastra, editor, atau profesor. Selama karya seorang penulis masih dinikmati, dibaca, didiskusikan dari waktu ke waktu maka karya itu telah menjadi karya sastra  dan penulisnya menjadi sastrawan.   
          Rahman (2002:4) mempertanyakan apa itu sastra majalah, sastra koran, dan sastra cyber? Pertanyaan ini tentu saja mengemuka karena muncul wacana yang mengatakan bahwa sastra koran atau sastra majalah mutunya lebih baik daripada sastra cyber. Dikatakan oleh Rahman bahwa menisbahkan sastra pada media, tempat karya sastra disiarkan dapat dipastikan bertolak dari asumsi bahwa setiap media menentukan corak dan kecenderungan karya sastra itu sendiri. Istilah sastra majalah, koran, dan cyber bagi Rahman lebih sebagai ”politik identitas” dalam percaturan wacana sastra. Istilah-istilah tersebut tidak pernah dirumuskan secara jelas, kecuali sebagai pembeda belaka, dengan asumsi-asumsi yang dibangun di atas karakter atau sifat setiap media.  Oleh karena itu,  istilah-istilah tersebut cenderung beroperasi dengan kesan, bahkan klaim subjektif, positif dan negatif, tergantung pada posisi si pemberi klaim. Dengan demikian, Rahman mengatakan  bahwa karya sastra yang baik adalah klaim yang subjektif bukan kesimpulan yang ditarik dari pemeriksaan yang cermat, teliti, dan seksama dalam sebuah bagan perbandingan.   


 Eksistensi Sastra Cyber
Berdasarkan tanggapan atau komentar tentang sastra cyber di atas dapat dilihat bahwa kehadiran sastra tersebut tidak semulus sastra media cetak.Mengapa demikian? Hal ini dsebabkan kehadiran sastra cyber tidak dengan serta merta diterima dengan baik. Bahkan, kehadirannya telah menimbulkan polemik yang cukup ramai, seperti yang sudah diungkapkan di atas. Misalnya, kalau kita cermati pendapat Ahmadun, tampak bahwa ia kurang simpatik terhadap kehadiran sastra cyber. Hal ini tampak jelas dari perkataannya yang mengatakan bahwa sastra cyber adalah sastra ’tong sampah’, ’sastra yang memberontak terhadap kemapanan estetika’. Perkataan ini dapat dikatakan sebagai perkataan yang kurang bijak dari seorang Ahmadun. Bagaimanapun juga sebagai seorang senior yang sudah lama berkiprah di bidang sastra seharusnya ia bisa lebih arif dan lebih bijak dalam menanggapi hal tersebut tanpa menyudutkannya.
 Kalau kita telusuri perjalanan sejarah sastra Indonesia, dapat dilihat di sana bahwa selalu terjadi pemberontakan terhadap kemapanan. Misalnya, Chairil Anwar muncul secara revolusioner. Ia memberontak terhadap kemapanan bentuk dan isi yang terdapat pada puisi-puisi sebelumnya. Justru dengan pemberontakannnya terhadap kemapanan tersebut ia dikenal dan dikenang sepanjang masa. Bahkan, hari kelahirannya selalu diperingati dengan berbagai acara yang berkaitan dengan sastra.  Sutarji Coulsoum Bachri juga muncul dengan kemuakan makna yang telah melekat pada kata. Ia mencoba melepaskan makna dari kata. Bahkan, ia mempermainkan kata dengan seenaknya sehingga pembaca banyak dibuat pusing untuk mengapresiasi karya-karyanya. Remi Silado juga pernah memunculkan puisi-pusi ’mbeling’. Puisi-puisinya memberontak terhadap kemapanan dan hegemoni para sastrawan senior. Dengan kata lain, selalu terjadi pemberontakan terhadap kemapanan. Sekarang tinggal kita bagaimana menyikapi hal tersebut.  Apakah kita harus marah atau jengkel?
Bila  berbicara soal media  terbit, jelas ada  pemerhati yang membedakannya, tetapi ada juga yang tidak. Sastra yang diterbitkan melalui media cetak (sastra koran/majalah) dikatakan lebih bermutu daripada sastra yang diterbitkan melalui media elektronik. Hal ini disebabkan sastra koran hadir di hadapan pembaca melalui prosedur dan seleksi yang ketat, sedangkan sastra cyber hadir sebaliknya. Sastra cyber hadir tanpa prosedur yang ketat  Oleh karena itu, siapa pun dapat memublikasikan karya-karyanya secara leluasa untuk dinikmati oleh siapa saja dari belahan dunia mana pun tanpa memandang apakah dia seorang yang sudah dikenal  atau seseorang yang namanya belum dikenal. Kondisi ini  menimbulkan kegeraman bagi sebagian sastrawan yang sudah mapan, seperti yang terungkap lewat pernyataan beberapa pelaku sastra  di atas. Kegeraman mereka sebenarnya tidak perlu terjadi jika mereka bisa bersikap arif dan bijaksana. Apalagi perkembangan teknologi tidak bisa dihindari, begitu juga sastra cyber yang lahir melaluinya. Ia sudah terlanjur lahir, meskipun kelahirannya tidak disambut gembira oleh sebagian pelaku sastra.
Sangatlah bijak jika  Rahman mengatakan bahwa tidak perlu memperdebatkan istilah yang berkaitan dengan  sastra koran, sastra majalah, dan sastra cyber. Baginya istilah-istilah itu sekadar ’politik identitas” dalam percaturan sastra. Dengan demikian, tidak perlu muncul klaim-klaim yang bersifat subjektif. Perlu juga dicermati pendapat William Sloan di atas bahwa  yang membuat sebuah buku menjadi karya sastra adalah pembacanya dan bukan kritikus, editor, atau profesor.Memang demikian adanya bahwa karya sastra akan menjadi benda mati (artefak) tanpa peran pembacanya. Karya sastra tidak akan berarti apa-apa tanpa campur tangan pembacanya. Oleh karena itu, memang tidak perlu dipermasalahkan soal sastra dari segi media karena hal tersebut justru akan menjadi sia-sia. Sastra cyber sudah terlanjur lahir dan tentunya kehadirannya harus disambut dengan tangan terbuka dan lapang dada.
 Kemudian dari segi tampilan, sastra terutama puisi juga berbeda. Jika dalam sastra koran (puisi) hadir dengan deretan kata yang ditata sedemikian rupa, dalam puisi cyber, kata-kata  ditampilkan dengan variasi yang bermacam-macam. Dalam arti, kata-kata bisa ditata sedemikian rupa, seperti berloncatan, berlarian, dan berkejaran sehingga tampak menarik dan indah. Keindahan itu semakin memukau ketika sastra tersebut diiringi dengan backsound dan background yang indah.

Sejarah Sastra Indonesia
         Pada dasarnya sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra dari awal kemunculannya hingga sekarang. Karya-karya yang dapat masuk ke dalam  sejarah sastra adalah karya-karya yang bermutu. Tentu saja suatu karya dikatakan bermutu jika telah dinilai oleh seorang kritikus atau orang yang ahli di bidang sastra. Penilaian terhadap sastra tertulis, seperti yang terdapat  pada koran atau buku telah lama berlangsung. Hal ini telah dimulai sekitar tahun 20-an yaitu  sejak adanya pengaruh Barat di Indonesia.
Berbeda dengan  sastra yang bermedia elektronik, sastra ini baru dikenal sekitar tahun 2000-an. Usianya yang masih terlalu muda tidak serta merta  kehadirannya diterima dengan tangan terbuka. Pro dan kontra pastilah bermunculan dengan kehadiran sastra tersebut, seperti yang sudah dipaparkan di atas. Dikatakan oleh Semboja (dalam Efendi, 2008:164) bahwa sejarah sastra Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi, masih tergantung pada kata pemegang otoritas. Apalagi sastra cyber belum mempunyai etos yang mapan, seperti halnya sastra koran atau buku. Meski usianya masih muda dan etos yang belum mapan, sastra cyber tetap bisa  dikaji dan dinilai.
Dikatakan oleh Endraswara  (2008:184) bahwa untuk mengkaji sastra cyber ini sama dengan sastra yang bermedia koran atau buku. Kita dapat menerapkan kode-kode seperti yang disampaikan oleh Teeuw yaitu kode sastra, kode budaya, dan kode bahasa. Ketiga kode itu ternyata semua ada dalam sastra cyber sehingga  mau tidak mau sastra tersebut harus mendapat perlakuan yang sama dengan sastra lainnya. Dengan demikian, sastra cyber tidak pelu dianaktirikan dan ia harus mendapat perhatian yang sama porsinya dengan sastra yang sudah mapan.
Bila dalam sastra yang sudah mapan dikenal sastra literer dan sastra populer maka tidaklah menutup kemungkinan itu pun terdapat pada sastra cyber. Apalagi  dalam jenis sastra ini siapa pun dari kalangan mana pun dapat menuangkan perasaan maupun pikirannya melalui media internet. Dengan demikian, sastra cyber kalau diperlakukan sama dengan sastra yang sudah ada sebelumnya, ia pun dapat dimasukkan ke dalam jajaran sejarah sastra Indonesia.  Yang menjadi pertanyaan, sudah siapkah para peneliti sastra melakukan kajian terhadap sastra cyber, dan sudah siapkah para sastrawan senior menerima kehadiran sastra cyber?
C. Simpulan
         Sastra cyber merupakan sastra yang kehadirannya di tengah-tengah kita masih terlalu muda. Namun, dengan usianya yang masih terlalu muda tidak menutup kemungkinan untuk dilakukann pengkajian terhadapnya. Memang sastra ini dapat dikatakan belum mempunyai etos yang mapan seperti sastra yang ditulis dengan media yang lain. Pada awalnya, media cetak satu-satunya alat untuk menuangkan segala ekspresi bagi sastrawan dan memang tidak mudah bagi penulis pemula untuk memasukkan hasil karyanya melalui media  cetak. Banyak persyaratan yang harus dilalui seseorang, sebelum dirinya disebut sebagai sastrawaan.  Oleh karena itu, kehadiran sastra melaui internet menimbulkan kecemburuan yang luar biasa bagi sastrawan senior. Betapa tidak? Karena untuk menulis di media internet, tidak ada sensor yang ketat. Siapa pun dapat dan boleh menuliskan apa saja. Tidak ada batas yang membatasi seseorang untuk berekspresi.        
         Pada dasarnya sastra, apapun medianya perlu mendapat perlakuan yang sama dari pemerhati sastra. Tidak perlu ada ”penganaktirian” terhadap karya sastra karena hal ini akan menimbulkan polemik yang tidak berkesudahan. Tindakan yang perlu kita lakukan saat ini  adalah memperlakukan jenis karya sastra apapun secara adil. Tidak perlu lagi membedakan antara sastra koran, sastrabuku atau sastra elektronik. Semua jenis sastra ini pada dasarnya dapat masuk ke dalam sejarah sastra dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan yang berlaku.

Daftar Rujukan
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.
Rahman, Jamal D. 2002. ”Sastra, Majalah, Koran, Cyber”. Dalam Horison
Semboja, Asep. 2008. ”Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)”. Dalam Anwar
             Efendi (Ed.). Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara
             wacana.

Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Bandung:
             Angkasa.

Sabtu, 28 Juli 2012

Ulasan Artikel


A.   PENERAPAN TIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA (Sebuah Artikel Sederhana)


Oleh : Hartoyo, M.A. Ph.D



Diunduh:  tanggal 20 Juli 2012

Pengaruh kuat perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam ranah pendidikan telah dirasakan secara luas. Salah satu media teknologi yang sangat pesat perkembangannya dalam pembelajaran adalah komputer. Hartoyo (2011) menyatakan bahwa komputer dapat bertindak sebagai tutor, menyediakan materi, dan memberikan informasi, serta penjelasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Kenning et al.,(1984) juga mengemukakan bahwa komputer dapat menjadi partner bagi siswa untuk bermain/menggunakan game pendidikan, atau dapat pula menjadi buku referensi yang efisien, serta dapat memberikan contoh, mengilustrasikan proses tertentu, atau menstimulasi percakapan.

Seiring dengan kemajuan teknologi, maka proses pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa sangat terasa manfaatnya. Selain dapat memudahkan dalam pencarian materi, juga  menjadikan proses belajar  lebih mengasyikkan. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Balladen (1984) yang menyatakan bahwa teknologi komputer secara tajam akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

Penerapan TIK dalam pembelajaran bahasa telah menjadi konsekuensi dan kebutuhan. Hartoyo (2011) mengemukakan beberapa perubahan yang disebabkan oleh penerapan TIK dalam pembelajaran bahasa, di antaranya : 1) Mendorong pembelajaran berpusat pada siswa, dan mengarahkan siswa pada peningkatan kemandirian; 2) Mendorong kerja kreatif dan interaktif; 3) Memfasilitasi umpan balik langsung ; 4) Memungkinkan materi diperbaharui secara rutin; 5) Pembagian peran antara guru dan siswa; 6) Akses yang lebih cepat terhadap materi.

Di samping beberapa hal di atas, peranan TIK juga sangat jelas terlihat dalam peranan guru. Peran guru dalam pembelajaran berbasis TIK antara lain: 1) Guru bertindak sebagai fasilitator dan pemandu;  2) Sebagai interogator media; 3) Sebagai peneliti; 4) Sebagai perancang skenario pembelajaran yang kompleks; 5) Sebagai kolaborator; 6) Sebagai pelajar;7) Sebagai evaluator; 8) Sebagai pakar teknologi, siswa, dan kurikulum.
Sumber : Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)  dalam Pembelajaran Bahasa

B. ULASAN

      Pada saat ini dapat dikatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah memasuki banyak bidang dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pendidikan.   Teknologi informasi mempermudah dalam pendidikan, baik dalam proses,penerapan pemahaman serta penguasaan di bidang pendidikan.     Teknologi adalah tolok ukur kemajuan.   Pendidikan dapat dilakukan meskipun jarak fisik antara pendidik dan peserta didik berjauhan.    Pendidik maupun peserta didik dapat memperoleh materi pendidikan lebih cepat. Peran teknologi informasi di dunia pendidikan sangatlah penting. Dengan adanya teknologi informasi segala macam ilmu pengetahuan dan informasi dapat diterima dan didapatkan dengan mudah dan cepat.

Berkaitan dengan artikel di atas  sebenarnya ada sedikit harapan yang saya inginkan yaitu adanya gambaran atau informasi bagaimana penerapan   secara konkret TIK dalam pembelajaran bahasa umumnya dan pembelajaran sastra khususnya.  Namun, setelah membaca artikel tersebut  justru  keambiguan yang saya dapatkan  yaitu apakah tulisan tersebut ingin berbicara masalah penerapan atau peranan TIK dalam pembelajaran bahasa. Coba kita perhatikan  kutipan dari tulisan di atas yang berbunyi sebagai berikut:
Hartoyo (2011) mengemukakan beberapa perubahan yang disebabkan oleh penerapan TIK dalam pembelajaran bahasa, di antaranya : 1) Mendorong pembelajaran berpusat pada siswa, dan mengarahkan siswa pada peningkatan kemandirian; 2) Mendorong kerja kreatif dan interaktif; 3) Memfasilitasi umpan balik langsung ; 4) Memungkinkan materi diperbaharui secara rutin; 5) Pembagian peran antara guru dan siswa; 6) Akses yang lebih cepat terhadap materi.

Melalui kutipan di atas kalau diperhatikan dan diresapkan  ada kekacauan antara kata penerapan dan peranan. Oleh karena itu, berkaitan dengan artikel di atas, ada beberapa hal yang saya sampaikan yaitu:
1.      Saya cenderung menafsirkan bahwa tulisan tersebut  lebih mengarah ke peranan TIK daripada penerapan TIK.
2.      Jika itu berkaitan dengan peranan TIK maka saya melihat peranan TIK secara umum. Dalam arti  TIK yang disampaikan tidak semata-mata ditujukan pada pembelajaran bahasa saja, tetapi pada pembelajaran secara umum.
.    -  Pada paragraf berikutnya dituliskan mengenai  peran guru dalam pembelajaran berbasis TIK. Ada delapan    point yang dikemukakan dan ini sudah cocok dengan yang ingin disampaikan oleh penulis.Oleh karena itu,  point penting  dari artikel di atas sebenarnya  ingin menyampaikan peranan TIK dalam pembelajaran dan peran guru dalam pembelajaran berbasis TIK. Jadi, yang disinggung dalam artikel   di atas bukan penerapan seperti yang tampak pada judul artikel tersebut.


Selasa, 31 Juli 2012

SASTRA CYBER DAN SEJARAH SASTRA INDONESIA


Oleh: Sri Widayati



A. Pendahuluan

 Sastra cyber sudah muncul beberapa tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 2001. Kehadirannya ditengarai dengan terbitnya buku  Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001. Graffiti Gratitude merupakan buku antalogi puisi cyber. Penerbitan antalogi tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS).
 Kemunculan sastra cyber dalam kancah kesusasteraan Indonesia ditanggapi dan diapresiasi secara berbeda-beda. Bahkan, hal ini sempat menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Di satu pihak ada yang menyambut secara positif, tetapi di pihak lain ada yang menyambutnya secara negatif. Disambut secara positif karena kehadiran sastra cyber dapat dengan mudah dan cepat diakses oleh kalangan yang lebih luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain itu, kehadiran sastra cyber melalui media internet memberi peluang bagi penulis yang bergiat di bidang sastra untuk memberikan sumbangsihnya,  baik berupa karya maupun pemikiran-pemikiran, tanggapan-tanggapan terhadap karya sastra. Disambut negatif karena sastra cyber dianggap tidak lebih dari sekadar upaya main-main saja. Sastra ini juga dikatakan sebagai sastra yang kualitasnya sangat kurang. dan tidak memberikan kemajuan yang berarti dalam khasanah kesusasteraan Indonesia.
    Lepas dari persoalan di atas, sebenarnya berkembangnya teknologi, mau tidak mau akan berpengaruh besar terhadap budaya suatu bangsa, tidak terkecuali sastra.  Tentunya berkembangnya teknologi di satu sisi akan berdampak positif dan di sisi lain akan membawa dampak yang negatif. Begitu juga terhadap kehadiran sastra melalui media elektronik. Namun, tentu saja kita tidak perlu merisaukan sastra cyber yang  kata sebagian pemerhati sastra ditulis ’semau gue’ karena bagaimanapun juga sastra yang  demikian akan tereleminasi dengan sendirinya. Dengan kata lain, waktu yang akan menentukan, apakah karya-karya tersebut akan tetap eksis atau tidak.
         Hadirnya sastra cyber melalui media elektronik sebaiknya jangan dipandang sebelah mata.  Bagaimanapun juga tidak adil jika semua karya yang ditulis melalui media tersebut  diklaim sebagai tulisan yang tidak bermutu. Seharusnya, sastra cyber tetap  dapat diterima secara positif karena mau tidak mau, sastra tersebut akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia. Melalui media elektronik diharapkan paling tidak untuk ke depannya akan memunculkan banyak kemungkinan baru yang dilakukan oleh para penulis. Dikatakan oleh Suryadi (dalam Situmorang, 2004:9) bahwa jika selama ini para sastrawan hanya menampilkan karyanya pada buku, majalah, koran—yang berwujud kertas—maka saat ini ditemukan karya-karya mereka yang tersebar di media internet. Sebuah media maya yang menghubungkan satu komputer dengan berjuta-juta komputer lainnya.
    Hadirnya internet sebagai media sastra cyber tentu mengundang tanya, akankah eksistensi sastra cyber akan diakui dalam sejarah sastra? Akankah ia  dicatat  sebagai bagian dari sejarah sastra Indonesia? Untuk hal tersebut akan dilihat bagaimana komentar-komentar para pemerhati sastra. Namun, sebelum itu akan diuraikan secara sekilas tentang cyber sastra.

B. Cyber Sastra
Cyber dapat diartikan ’maya’, sastra cyber atau cyber sastra merupakan sastra yang lahir sebagai dampak  perkembangan teknologi. Jika sastra sebelumnya menggunakan koran dan majalah sebagai mediumnya, sastra cyber mediumnya elektronik (internet). Dibandingkan  sastra koran atau majalah,  dalam sastra cyber, penulis mengalami kemudahan di dalam pemunculan karyanya di hadapan pembaca karena tidak ada seleksi yang ketat terhadap sastra tersebut. Oleh karena itu, kemungkinan besar medium elektronik sebagai sarana pengungkapan ekspresi seseorang akan mengalahkan dan menggeser medium yang ada sebelumnya.  Semua itu terjadi karena pesatnya perkembangan teknologi.
   Berkembangnya teknologi terutama internet dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi yang besar pengaruhnya dalam kehidupan ini. Salah satu pengaruhnya adalah terhadap dunia sastra.  Seperti telah kita ketahui bahwa sastra merupakan  bagian dari kebudayaan suatu bangsa. Kebudayaan suatu bangsa tentu akan  mudah berkembang, seiring  dengan berkembangnya teknologi. Dengan adanya internet, paling tidak dapat dimanfaatkan untuk membantu perkembangan sastra dengan lebih baik.Internet dengan sendirinya memberi ruang baru bagi seseorang untuk berkarya. Sebelum media ini muncul, koran dan majalah adalah media yang digunakan penulis untuk menyalurkan bakat atau hobinya. Namun, terbatasnya ruang dalam media  tersebut dapat dikatakan tidak banyak membantu perkembangan sastra dengan baik.
 Kecanggihan komputer dan ketinggian daya kreatif memberikan hasil yang luar biasa, tidak terkecuali sastra. Sastra cyber  tentunya akan memiliki prospek  yang semakin cerah tidak saja di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia yang lain. Sastra cyber memberikan kesempatan yang luas, tidak saja bagi penulis untuk menulis karya sastra, tetapi juga pada pembaca untuk melakukan apresiasi  sastra secara leluasa. Namun, kehadirannya telah membawa polemik yang cukup ramai. Hal tersebut disebabkan masih ada yang membedakan sastra dari segi medianya. Ada sastra majalah, koran, dan cyber. Sastra majalah dan koran dianggap lebih baik atau lebih tinggi mutunya daripada sastra cyber. Hal ini disebabkan sebuah karya yang terbit dalam kedua media tersebut harus melewati seleksi yang ketat. Berbeda dengan sastra cyber, yang tidak melewati seleksi yang ketat seperti yang tampak pada kedua media tersebut. Selain masalah media yang diperdebatkan, juga anggapan adanya hegemoni para senior yang tidak menginginkan eksistensinya dilanggar oleh penulis yunior. Oleh karena itu, berikut akan ditampilkan  polemik yang muncul berkaitan dengan  hadirnya sastra cyber.

 Polemik Sekitar Sastra Cyber
            Tidak sedikit pandangan dan komentar yang dilontarkan para pemerhati sastra terhadap kehadiran sastra cyber di Indonesia. Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada yang menanggapi secara positif  maupun negatif terhadap sastra cyber.  Berikut akan ditampilkan pandangan sekitar sastra cyber.
            Dikatakan oleh Ahmadun Yosi Herfanda (redaktur koran Republika)  dalam salah artikel yang dimuat dalam Republika dengan judul ”Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah”. Dalam artikel tersebut Ahmadun mengatakan  bahwa sastra yang  dituangkan melalui media cyber cenderung hanyalah sebagai ”tong sampah.”  Dikatakan demikian, karena menurutnya sastra cyber merupakan  karya-karya yang tidak tertampung atau ditolak oleh media sastra cetak (2001). Lebih lanjut dikatakan  bahwa media cyber membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif yang ”memberontak” terhadap kemapanan – terhadap estetika yang lazim—dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak. Sebab di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreatif, yang seliar-liarnya sekalipun, yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antalogi sastra.  
            Selanjutnya Sutarji Coulsoum Bachri (dalam Efendi, 2004:90) yang dikenal sebagai presiden ”Penyair Indonesia” mengatakan dengan cukup pedas bahwa ’tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan’. Pernyataan ini dilontarkan berkaitan dengan cover yang tampak pada buku antalogi sastra cyber  yaitu Graffiti Gratitude yang dipandang kurang baik sehingga buku itu tidak layak untuk dijual.
            Masih berkaitan dengan sastra cyber, Maman S. Mahayana (dalam Situmorang, 2004:62) menyatakan bahwa kualitas penyair-penyair cyber masih dipertanyakan, sebagian masih tergolong sebagai penulis yang baik, belum sebagai penyair. Kemudian Juniarso Ridwan, seorang penyair dari Bandung, (dalam Situmorang, 2004:255) menanggapi pernik-pernik yang tampak pada sastra cyber seperti background, backsound, dan variasi yang terdapat pada kata-kata. Ia  mengatakan bahwa apa artinya loncatan-loncatan huruf, selain memperlihatkan kecanggihan teknologi digital. Apa pengaruhnya suara-suara musik yang secara esensial tidak terkait dengan teks yang muncul, selain hanya untuk konsumsi telinga yang secara historis-biologis sulit untuk melakukan korespondensi makna.  
             Berkaitan dengan pernyataan Ahmadun, Sutarji Coulsoum Bachri, Maman S. Mahayana, dan Juniarso Ridwan di atas timbul reaksi dari berbagai pihak, antara lain dari  Sutan Iwan Soekri Munaf (2004:95). Ia  mengatakan  bahwa penilaian yang dilakukan  Ahmadun adalah penilaian yang terburu-buru. Ahmadun hanya memberikan sampel yang terbatas dan rentang waktu yang pendek sehingga perlu dipertanyakan kesahihan penilaian itu. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagai sarana, dunia cyber pada akhirnya sebagaimana alam nyata, akan memberikan ujian tersendiri bagi penyair maupun sastrawan. Hanya penyair dan sastrawan teruji di dunia cyber yang akan menghasilkan karya ”berbunyi”. Tentu saja ”berbunyi” di sini mempunyai batasan sendiri yang disepakati masyarakat dunia cyber.
         Medy Loekito, seorang penyair yang sekaligus presiden  Yayasan Muktimedia Sastra, (dalam Efendi, 2004:278) mengatakan bahwa perdebatan mengenai sastra koran melawan sastra cyber adalah sesuatu yang tidak perlu. Dia mempertanyakan bagaimana sastra koran  merasa atau didudukan sebagai dewa sastra, dan bagaimana sastra cyber dianggap sebagai sastra sampah? Adalah suatu perbincangan yang mengada-ada, kecuali apabila perbincangan antara kedua mazhab tersebut lebih diarahkan pada riset, studi perbandingan, dan analisis, guna mencari jalan untuk pencapaian yng lebih maksimal.
         Asep Sambodja dalam Efendi (2008:164) berpendapat bahwa meskipun sastra cyber dicap sebagai ”Anak Haram”, ataupun ”Tong Sampah”dalam sastra Indonesia, sastra cyber tetap memiliki hak hidup yang sama dengan sastra lainnya. Dikatakan lebih lanjut bahwa kehidupan sastra Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi, masih tergantung pada kata pemegang otoritas. Pemegang otoritas sastra Indonesia pertama di Indonesia adalah pemerintah kolonial Belanda yang pada awalnya membentuk Komisi Bacaan Rakyat yang kemudian diubah namanya menjadi Balai Pustaka.  Balai Pustaka sebagai milik Belanda dan sebagai pemegang otoritas berjalan dalam kurun yang cukup lama yaitu hampir satu abad sejak tahun 1900. Sambodja (dalam Efendi, 2008:165) mengatakan, apa yang terjadi pada masa Balai Pustaka kini dialami oleh sastrawan generasi cyber. Karya-karya mereka yang dimuat melalui internet diamini sebagai karya yang instan.
         Donny Anggoro  (2008:198) mengatakan bahwa sastra cyber telah lahir dan tidak bisa ditolak kehadirannya dalam kancah kesusasteraan Indonesia modern. Menurutnya perdebatan-perdebatan yang muncul, apakah itu pro atau kontra telah tercatat sebagai aksi sejarah munculnya media alternatif baru penyaluran karya sastra via internet.
         Sawali Tuhusetya (2007) mengatakan bahwa melalui internet setiap orang bisa memublikasikan teks-teks sastra ciptaannya, bahkan teks sastra yang tergolong ’sampah’ pun bisa dengan mudah terpublikasikan.  Hal yang hampir mustahil terjadi dalam sastra koran. Untuk bisa meloloskan teks, sastranya di sebuah media cetak, minimal harus lolos dari ’brikade’ selera sang redaktur. Hal ini berarti bahwa tidak bisa sembarang teks sastra bisa lolos dari persyaratan ketat yang ditetapkan oleh sang redaktur.
Suharjo (dalam Situmorang, 2004:63--64) mengomentari pendapat Maman S. Mahayana. Ia mengatakan bahwa pendapat Maman tidak sepenuhnya keliru, karena sebagian penyumbang naskah Graffiti Gratitude itu tidak berpikir bahwa dirinya adalah penyair atau sastrawan. Mereka lebih senang dan nyaman dipanggil sebagai penulis. Dalam hal ini ia mempertanyakan bilamana seorang dikatakan sebagai sastrawan dan bilamana hanya disebut sebagai  penulis saja. Ia mengutip pendapat William Sloane yang mengatakan bahwa yang membuat sebuah buku menjadi karya sastra adalah pembacanya, bukan kritikus sastra, editor, atau profesor. Selama karya seorang penulis masih dinikmati, dibaca, didiskusikan dari waktu ke waktu maka karya itu telah menjadi karya sastra  dan penulisnya menjadi sastrawan.   
          Rahman (2002:4) mempertanyakan apa itu sastra majalah, sastra koran, dan sastra cyber? Pertanyaan ini tentu saja mengemuka karena muncul wacana yang mengatakan bahwa sastra koran atau sastra majalah mutunya lebih baik daripada sastra cyber. Dikatakan oleh Rahman bahwa menisbahkan sastra pada media, tempat karya sastra disiarkan dapat dipastikan bertolak dari asumsi bahwa setiap media menentukan corak dan kecenderungan karya sastra itu sendiri. Istilah sastra majalah, koran, dan cyber bagi Rahman lebih sebagai ”politik identitas” dalam percaturan wacana sastra. Istilah-istilah tersebut tidak pernah dirumuskan secara jelas, kecuali sebagai pembeda belaka, dengan asumsi-asumsi yang dibangun di atas karakter atau sifat setiap media.  Oleh karena itu,  istilah-istilah tersebut cenderung beroperasi dengan kesan, bahkan klaim subjektif, positif dan negatif, tergantung pada posisi si pemberi klaim. Dengan demikian, Rahman mengatakan  bahwa karya sastra yang baik adalah klaim yang subjektif bukan kesimpulan yang ditarik dari pemeriksaan yang cermat, teliti, dan seksama dalam sebuah bagan perbandingan.   


 Eksistensi Sastra Cyber
Berdasarkan tanggapan atau komentar tentang sastra cyber di atas dapat dilihat bahwa kehadiran sastra tersebut tidak semulus sastra media cetak.Mengapa demikian? Hal ini dsebabkan kehadiran sastra cyber tidak dengan serta merta diterima dengan baik. Bahkan, kehadirannya telah menimbulkan polemik yang cukup ramai, seperti yang sudah diungkapkan di atas. Misalnya, kalau kita cermati pendapat Ahmadun, tampak bahwa ia kurang simpatik terhadap kehadiran sastra cyber. Hal ini tampak jelas dari perkataannya yang mengatakan bahwa sastra cyber adalah sastra ’tong sampah’, ’sastra yang memberontak terhadap kemapanan estetika’. Perkataan ini dapat dikatakan sebagai perkataan yang kurang bijak dari seorang Ahmadun. Bagaimanapun juga sebagai seorang senior yang sudah lama berkiprah di bidang sastra seharusnya ia bisa lebih arif dan lebih bijak dalam menanggapi hal tersebut tanpa menyudutkannya.
 Kalau kita telusuri perjalanan sejarah sastra Indonesia, dapat dilihat di sana bahwa selalu terjadi pemberontakan terhadap kemapanan. Misalnya, Chairil Anwar muncul secara revolusioner. Ia memberontak terhadap kemapanan bentuk dan isi yang terdapat pada puisi-puisi sebelumnya. Justru dengan pemberontakannnya terhadap kemapanan tersebut ia dikenal dan dikenang sepanjang masa. Bahkan, hari kelahirannya selalu diperingati dengan berbagai acara yang berkaitan dengan sastra.  Sutarji Coulsoum Bachri juga muncul dengan kemuakan makna yang telah melekat pada kata. Ia mencoba melepaskan makna dari kata. Bahkan, ia mempermainkan kata dengan seenaknya sehingga pembaca banyak dibuat pusing untuk mengapresiasi karya-karyanya. Remi Silado juga pernah memunculkan puisi-pusi ’mbeling’. Puisi-puisinya memberontak terhadap kemapanan dan hegemoni para sastrawan senior. Dengan kata lain, selalu terjadi pemberontakan terhadap kemapanan. Sekarang tinggal kita bagaimana menyikapi hal tersebut.  Apakah kita harus marah atau jengkel?
Bila  berbicara soal media  terbit, jelas ada  pemerhati yang membedakannya, tetapi ada juga yang tidak. Sastra yang diterbitkan melalui media cetak (sastra koran/majalah) dikatakan lebih bermutu daripada sastra yang diterbitkan melalui media elektronik. Hal ini disebabkan sastra koran hadir di hadapan pembaca melalui prosedur dan seleksi yang ketat, sedangkan sastra cyber hadir sebaliknya. Sastra cyber hadir tanpa prosedur yang ketat  Oleh karena itu, siapa pun dapat memublikasikan karya-karyanya secara leluasa untuk dinikmati oleh siapa saja dari belahan dunia mana pun tanpa memandang apakah dia seorang yang sudah dikenal  atau seseorang yang namanya belum dikenal. Kondisi ini  menimbulkan kegeraman bagi sebagian sastrawan yang sudah mapan, seperti yang terungkap lewat pernyataan beberapa pelaku sastra  di atas. Kegeraman mereka sebenarnya tidak perlu terjadi jika mereka bisa bersikap arif dan bijaksana. Apalagi perkembangan teknologi tidak bisa dihindari, begitu juga sastra cyber yang lahir melaluinya. Ia sudah terlanjur lahir, meskipun kelahirannya tidak disambut gembira oleh sebagian pelaku sastra.
Sangatlah bijak jika  Rahman mengatakan bahwa tidak perlu memperdebatkan istilah yang berkaitan dengan  sastra koran, sastra majalah, dan sastra cyber. Baginya istilah-istilah itu sekadar ’politik identitas” dalam percaturan sastra. Dengan demikian, tidak perlu muncul klaim-klaim yang bersifat subjektif. Perlu juga dicermati pendapat William Sloan di atas bahwa  yang membuat sebuah buku menjadi karya sastra adalah pembacanya dan bukan kritikus, editor, atau profesor.Memang demikian adanya bahwa karya sastra akan menjadi benda mati (artefak) tanpa peran pembacanya. Karya sastra tidak akan berarti apa-apa tanpa campur tangan pembacanya. Oleh karena itu, memang tidak perlu dipermasalahkan soal sastra dari segi media karena hal tersebut justru akan menjadi sia-sia. Sastra cyber sudah terlanjur lahir dan tentunya kehadirannya harus disambut dengan tangan terbuka dan lapang dada.
 Kemudian dari segi tampilan, sastra terutama puisi juga berbeda. Jika dalam sastra koran (puisi) hadir dengan deretan kata yang ditata sedemikian rupa, dalam puisi cyber, kata-kata  ditampilkan dengan variasi yang bermacam-macam. Dalam arti, kata-kata bisa ditata sedemikian rupa, seperti berloncatan, berlarian, dan berkejaran sehingga tampak menarik dan indah. Keindahan itu semakin memukau ketika sastra tersebut diiringi dengan backsound dan background yang indah.

Sejarah Sastra Indonesia
         Pada dasarnya sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra dari awal kemunculannya hingga sekarang. Karya-karya yang dapat masuk ke dalam  sejarah sastra adalah karya-karya yang bermutu. Tentu saja suatu karya dikatakan bermutu jika telah dinilai oleh seorang kritikus atau orang yang ahli di bidang sastra. Penilaian terhadap sastra tertulis, seperti yang terdapat  pada koran atau buku telah lama berlangsung. Hal ini telah dimulai sekitar tahun 20-an yaitu  sejak adanya pengaruh Barat di Indonesia.
Berbeda dengan  sastra yang bermedia elektronik, sastra ini baru dikenal sekitar tahun 2000-an. Usianya yang masih terlalu muda tidak serta merta  kehadirannya diterima dengan tangan terbuka. Pro dan kontra pastilah bermunculan dengan kehadiran sastra tersebut, seperti yang sudah dipaparkan di atas. Dikatakan oleh Semboja (dalam Efendi, 2008:164) bahwa sejarah sastra Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi, masih tergantung pada kata pemegang otoritas. Apalagi sastra cyber belum mempunyai etos yang mapan, seperti halnya sastra koran atau buku. Meski usianya masih muda dan etos yang belum mapan, sastra cyber tetap bisa  dikaji dan dinilai.
Dikatakan oleh Endraswara  (2008:184) bahwa untuk mengkaji sastra cyber ini sama dengan sastra yang bermedia koran atau buku. Kita dapat menerapkan kode-kode seperti yang disampaikan oleh Teeuw yaitu kode sastra, kode budaya, dan kode bahasa. Ketiga kode itu ternyata semua ada dalam sastra cyber sehingga  mau tidak mau sastra tersebut harus mendapat perlakuan yang sama dengan sastra lainnya. Dengan demikian, sastra cyber tidak pelu dianaktirikan dan ia harus mendapat perhatian yang sama porsinya dengan sastra yang sudah mapan.
Bila dalam sastra yang sudah mapan dikenal sastra literer dan sastra populer maka tidaklah menutup kemungkinan itu pun terdapat pada sastra cyber. Apalagi  dalam jenis sastra ini siapa pun dari kalangan mana pun dapat menuangkan perasaan maupun pikirannya melalui media internet. Dengan demikian, sastra cyber kalau diperlakukan sama dengan sastra yang sudah ada sebelumnya, ia pun dapat dimasukkan ke dalam jajaran sejarah sastra Indonesia.  Yang menjadi pertanyaan, sudah siapkah para peneliti sastra melakukan kajian terhadap sastra cyber, dan sudah siapkah para sastrawan senior menerima kehadiran sastra cyber?
C. Simpulan
         Sastra cyber merupakan sastra yang kehadirannya di tengah-tengah kita masih terlalu muda. Namun, dengan usianya yang masih terlalu muda tidak menutup kemungkinan untuk dilakukann pengkajian terhadapnya. Memang sastra ini dapat dikatakan belum mempunyai etos yang mapan seperti sastra yang ditulis dengan media yang lain. Pada awalnya, media cetak satu-satunya alat untuk menuangkan segala ekspresi bagi sastrawan dan memang tidak mudah bagi penulis pemula untuk memasukkan hasil karyanya melalui media  cetak. Banyak persyaratan yang harus dilalui seseorang, sebelum dirinya disebut sebagai sastrawaan.  Oleh karena itu, kehadiran sastra melaui internet menimbulkan kecemburuan yang luar biasa bagi sastrawan senior. Betapa tidak? Karena untuk menulis di media internet, tidak ada sensor yang ketat. Siapa pun dapat dan boleh menuliskan apa saja. Tidak ada batas yang membatasi seseorang untuk berekspresi.        
         Pada dasarnya sastra, apapun medianya perlu mendapat perlakuan yang sama dari pemerhati sastra. Tidak perlu ada ”penganaktirian” terhadap karya sastra karena hal ini akan menimbulkan polemik yang tidak berkesudahan. Tindakan yang perlu kita lakukan saat ini  adalah memperlakukan jenis karya sastra apapun secara adil. Tidak perlu lagi membedakan antara sastra koran, sastrabuku atau sastra elektronik. Semua jenis sastra ini pada dasarnya dapat masuk ke dalam sejarah sastra dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan yang berlaku.

Daftar Rujukan
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.
Rahman, Jamal D. 2002. ”Sastra, Majalah, Koran, Cyber”. Dalam Horison
Semboja, Asep. 2008. ”Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)”. Dalam Anwar
             Efendi (Ed.). Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara
             wacana.

Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Bandung:
             Angkasa.

Sabtu, 28 Juli 2012

Ulasan Artikel


A.   PENERAPAN TIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA (Sebuah Artikel Sederhana)


Oleh : Hartoyo, M.A. Ph.D



Diunduh:  tanggal 20 Juli 2012

Pengaruh kuat perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam ranah pendidikan telah dirasakan secara luas. Salah satu media teknologi yang sangat pesat perkembangannya dalam pembelajaran adalah komputer. Hartoyo (2011) menyatakan bahwa komputer dapat bertindak sebagai tutor, menyediakan materi, dan memberikan informasi, serta penjelasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Kenning et al.,(1984) juga mengemukakan bahwa komputer dapat menjadi partner bagi siswa untuk bermain/menggunakan game pendidikan, atau dapat pula menjadi buku referensi yang efisien, serta dapat memberikan contoh, mengilustrasikan proses tertentu, atau menstimulasi percakapan.

Seiring dengan kemajuan teknologi, maka proses pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa sangat terasa manfaatnya. Selain dapat memudahkan dalam pencarian materi, juga  menjadikan proses belajar  lebih mengasyikkan. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Balladen (1984) yang menyatakan bahwa teknologi komputer secara tajam akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

Penerapan TIK dalam pembelajaran bahasa telah menjadi konsekuensi dan kebutuhan. Hartoyo (2011) mengemukakan beberapa perubahan yang disebabkan oleh penerapan TIK dalam pembelajaran bahasa, di antaranya : 1) Mendorong pembelajaran berpusat pada siswa, dan mengarahkan siswa pada peningkatan kemandirian; 2) Mendorong kerja kreatif dan interaktif; 3) Memfasilitasi umpan balik langsung ; 4) Memungkinkan materi diperbaharui secara rutin; 5) Pembagian peran antara guru dan siswa; 6) Akses yang lebih cepat terhadap materi.

Di samping beberapa hal di atas, peranan TIK juga sangat jelas terlihat dalam peranan guru. Peran guru dalam pembelajaran berbasis TIK antara lain: 1) Guru bertindak sebagai fasilitator dan pemandu;  2) Sebagai interogator media; 3) Sebagai peneliti; 4) Sebagai perancang skenario pembelajaran yang kompleks; 5) Sebagai kolaborator; 6) Sebagai pelajar;7) Sebagai evaluator; 8) Sebagai pakar teknologi, siswa, dan kurikulum.
Sumber : Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)  dalam Pembelajaran Bahasa

B. ULASAN

      Pada saat ini dapat dikatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah memasuki banyak bidang dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pendidikan.   Teknologi informasi mempermudah dalam pendidikan, baik dalam proses,penerapan pemahaman serta penguasaan di bidang pendidikan.     Teknologi adalah tolok ukur kemajuan.   Pendidikan dapat dilakukan meskipun jarak fisik antara pendidik dan peserta didik berjauhan.    Pendidik maupun peserta didik dapat memperoleh materi pendidikan lebih cepat. Peran teknologi informasi di dunia pendidikan sangatlah penting. Dengan adanya teknologi informasi segala macam ilmu pengetahuan dan informasi dapat diterima dan didapatkan dengan mudah dan cepat.

Berkaitan dengan artikel di atas  sebenarnya ada sedikit harapan yang saya inginkan yaitu adanya gambaran atau informasi bagaimana penerapan   secara konkret TIK dalam pembelajaran bahasa umumnya dan pembelajaran sastra khususnya.  Namun, setelah membaca artikel tersebut  justru  keambiguan yang saya dapatkan  yaitu apakah tulisan tersebut ingin berbicara masalah penerapan atau peranan TIK dalam pembelajaran bahasa. Coba kita perhatikan  kutipan dari tulisan di atas yang berbunyi sebagai berikut:
Hartoyo (2011) mengemukakan beberapa perubahan yang disebabkan oleh penerapan TIK dalam pembelajaran bahasa, di antaranya : 1) Mendorong pembelajaran berpusat pada siswa, dan mengarahkan siswa pada peningkatan kemandirian; 2) Mendorong kerja kreatif dan interaktif; 3) Memfasilitasi umpan balik langsung ; 4) Memungkinkan materi diperbaharui secara rutin; 5) Pembagian peran antara guru dan siswa; 6) Akses yang lebih cepat terhadap materi.

Melalui kutipan di atas kalau diperhatikan dan diresapkan  ada kekacauan antara kata penerapan dan peranan. Oleh karena itu, berkaitan dengan artikel di atas, ada beberapa hal yang saya sampaikan yaitu:
1.      Saya cenderung menafsirkan bahwa tulisan tersebut  lebih mengarah ke peranan TIK daripada penerapan TIK.
2.      Jika itu berkaitan dengan peranan TIK maka saya melihat peranan TIK secara umum. Dalam arti  TIK yang disampaikan tidak semata-mata ditujukan pada pembelajaran bahasa saja, tetapi pada pembelajaran secara umum.
.    -  Pada paragraf berikutnya dituliskan mengenai  peran guru dalam pembelajaran berbasis TIK. Ada delapan    point yang dikemukakan dan ini sudah cocok dengan yang ingin disampaikan oleh penulis.Oleh karena itu,  point penting  dari artikel di atas sebenarnya  ingin menyampaikan peranan TIK dalam pembelajaran dan peran guru dalam pembelajaran berbasis TIK. Jadi, yang disinggung dalam artikel   di atas bukan penerapan seperti yang tampak pada judul artikel tersebut.


Copyright 2011
Rumah Makna

Powered by
Free Blogger Templates