CITRA WANITA TOKOH UTAMA
NOVEL JEPUN NEGERINYA HIROKO
KARYA N.H. DINI
KARYA N.H. DINI
Pembahasan
mengenai citra wanita dalam kesusastraan pada saat ini mendapat perhatian yang
cukup besar. Pembicaraan tentang
wanita sebagai salah satu anggota kelompok masyarakat merupakan kajian sastra
yang cukup sering dibicarakan. Hal ini berkaitan dengan perubahan dalam
memandang masalah ini sesuai perubahan nilai-nilai dan moralitas mereka yang
memberi penilaian. Sekalipun nantinya terdapat perbedaan atau persepsi dalam
penilaian, hal itu merupakan konsekuensi dari nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan atau perubahan nilai-nilai dalam masyarakat ini sedikit banyak
menyebabkan perubahan dalam menampilkan tokoh-tokoh dalam karya sastra,
khususnya tokoh wanita. Bagaimanapun juga karya sastra yang mencerminkan selera
dan aspirasi suatu kelompok masyarakat
tertentu merupakan gejala yang selalu ada pada setiap zaman, sepanjang sejarah
kesusasteraan. Gejala tersebut tentu saja dapat mengakibatkan perkembangan yang
positif bagi dunia sastra.
Dalam analisis yang
memfokuskan pada tokoh wanita, dipilih novel Jepun Negerinya Hiroko.
Novel yang menjadi objek kajian ini
ditulis oleh seorang pengarang wanita yaitu N.H. Dini.Untuk membahas masalah
citra wanita pada novel tersebut dipergunakan kritik feminisme.
Kritik sastra feminisme
merupakan studi sastra yang mengarah fokus analisis tentang perempuan (Sofia,
2003:23). Arti kritik sastra feminisme adalah sebuah kritik yang memandang
sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang berhubungan
dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin membuat perbedaan
di antara semuanya, perbedaan di antara diri pencipta, pembaca, dan faktor luar
penulisan dan pembaca sastra,
Kritik
sastra feminisme bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang
perempuan, juga bukanlah kritik tentang pengarang perempuan. Arti sederhana yang
dikandungnya adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus,
kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai perempuan
berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan
laki-laki yang androsentris atau patriarki. Perbedaan jenis kelamin pada diri
pencipta, pembaca, unsur karya, dan faktor luar itulah yang memengaruhi situasi
sistem komunikasi sastra. Penggunaan berbagai teori feminisme diharapkan mampu memberikan
pandangan-pandangan baru, terutama yang berkaitan dengan bagaimana
karakter-karakter yang diwakili dalam karya sastra.
Citra
Wanita Tokoh Utama Novel Jepun Negerinya
Hiroko
Untuk mengetahui citra wanita
pada novel Jepun Negerinya Hiroko dipergunakan analisis kritik sastra feminis.
Kata ’citra’ dalam analisis ini mengacu pada pengertian semua wujud gambaran
mental sipritual dan tingkah laku keseharian wanita yang menunjukkan ’wajah’
dan ciri khas wanita (Sugihastuti, 2000:7).
Pada point ini citra tokoh yang dibicarakan
adalah citra tokoh utama, yaitu Dini. Hal ini dilakukan karena novel ini
semacam diari dari tokoh aku (Dini). Sebagai diari, novel ini banyak
mengungkapkan perjalanan hidup sang tokoh dalam mengarungi bahtera
kehidupannya. Sang aku yaitu Dini banyak memaparkan perjalanan hidupnya setelah
menikah dengan diplomat asing yang berasal dari Perancis. Liku-liku
kehidupannya bersama suaminya, Yves Coffin, memberi gambaran yang jelas tentang
citra dirinya sebagai seorang istri sekaligus sebagai seorang ibu.
Dalam analisis ini akan
diuraikan citra wanita tokoh utama yang meliputi citra dalam aspek fisik dan
aspek psikis. Begitu juga akan diuraikan citra sosial tokoh tersebut, terutama
citranya dalam keluarga dan masyarakat
a.Citra Diri Dini
Secara fisik Dini dicitrakan
sebagai seorang wanita dewasa dengan usia 24 tahun, dia seorang wanita yang
telah siap untuk berumah tangga. Hal ini ditandai dengan kesiapannya untuk
menikah dengan dilpomat asing dari Perancis yaitu Yves Coffin.Sebagai wanita
dewasa, Dini sudah mempunyai pemikiran
yang matang tentang risiko perkawinannya dengan orang asing. Misalnya, risiko
penanggalan kewarganegaraan Indonesianya dan mengikuti kewarganegaraan
suaminya. Risiko lain adalah jauh dari
orang tua maupun sanak keluarganya.
Citra fisik lainnya yaitu,
Dini memiliki warna kulit sawo matang seperti warna kulit bangsa Indonesia
umumnya. Wajahnya selalu kelihatan berseri dan pakaian yang dikenakan selalu cocok dengan bentuk tubuhnya. Postur
tubuh, pada dasarnya tidak dideskripsikan secara rinci. Hanya dari tuturan Yves
Coffin sebelum keberangkatan Dini untuk menyusul calon suaminya yang ditugaskan
di Jepang, Yves sempat berpesan pada Dini untuk membeli celana panjang di
Hongkong. Hal ini dikarenakan celana panjang yang dijual di Jepang banyak yang
tidak sesuai dengan postur orang Indonesia umumnya. Artinya, perbandingan
antara bagian tubuh atas dan bawah seringkali tidak proposional. Mengenai
wajah, secara implisit dapat dikatakan bahwa Dini seorang wanita yang cantik,
menarik, dan memesona. Dikatakan demikian, karena seorang diplomat asing pasti
memilih calon istri yang dapat mendampingi dirinya dalam berbagai acara.
Aspek psikis wanita tidak
dapat dipisahkan dari apa yang disebut feminitas. Prinsip feminitas ini oleh
Yung (dalam Sugihastuti, 2000:95) disebut sebagai sesuatu yang merupakan
kecenderungan yang ada dalam diri perempuan; prinsip-prinsip itu antara lain
menyangkut ciri relatedness, receptivity,
cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasi komunal, dan memelihara
hubungan interpersonal.
Secara psikis, Dini dicitrakan sebagai sosok
pribadi yang baik, cerdas, mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai hobi
menulis, terutama menulis prosa. Hobi menulis ini yang kemudian melambungkan
namanya sebagai penulis yang sangat produktif di Indonesia. Citra Dini inilah
yang membuat seorang Yves, seorang diplomat asing tertarik dan kemudian
memintanya untuk menikah dengannya. Dini tidak mungkin menjadi istri seorang
diplomat seandainya dia tidak mempunyai kepribadian yang baik serta pengetahuan
yang luas. Karena untuk menjadi istri seorang diplomat, Dini harus melewati
beberapa tes yang dilakukan oleh konsul Perancis yang ada di Indonesia.
Dini lolos tes untuk menjadi
calon istri seorang diplomat. Dia kemudian menyusul calon suaminya yang
ditugaskan di Jepang dan kemudian menikah di sana. Pernikahannya dengan Yves,
ternyata tidak seindah yang ia bayangkan karena Yves menunjukkan sifat-sifat
kontradiktifnya.Yves yang pada masa berpacaran menunjukkan sikap yang baik
dan selalu memanjakan Dini, setelah
menikah menunjukkan watak aslinya. Yves mempunyai sifat yang jelek seperti
kemarahannya yang tiba-tiba dengan cara berteriak, sifat keras kepalanya untuk
mengharapkan pujian dalam semua bidang. Bahkan, urusan masak-memasak dan urusan
rumah tangga pun selalu ia campuri hingga detilnya (hl.9). Sebagai seorang
wanita Jawa, Dini dididik untuk tidak
terlalu banyak bicara, apalagi membantah orang tua ataupun suami. Didikan ini
tertanam begitu kuat sehingga ketika menghadapi sikap Yves yang sangat
kontradiktif, Dini menerimanya dengan penuh kesabaran. Dini sadar bahwa perkawinannya dengan Yves
adalah kehendaknya sendiri sehingga ia harus menerima dan menjalani dengan
penuh kerelaan.
Citra Dini sebagai istri yang
sabar dapat ditunjukkan pula dengan berbagai masalah yang dihadapi serta
perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan yang diperoleh dari Yves. Misalnya,
ketika Dini mendapat musibah terjebak dalam lift salah satu supermarket di
Jepang, Yves sama sekali tidak menunjukkan kekhawatirannya. Bahkan, Yves tidak
bersyukur istrinya selamat, padahal saat itu Dini sedang mengandung anak
pertama mereka. Ketidakpedulian Yves terhadap Dini tidak sebatas itu saja,
tetapi juga saat- saat ada orang ketiga di antara mereka. Misalnya, ketika ada
tamu atau orang yang hadir di tengah-tengah mereka maka perhatian Yves tercurah
semuanya kepada orang tersebut. Sikap Yves yang demikian itu selalu dihadapi
Dini dengan kesabaran yang luar biasa.
Meskipun Dini dicitrakan
sebagai wanita yang penuh kesabaran, sesekali waktu kesabarannya juga teruji
dengan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki. Selama mengandung Dini
mencoba untuk membungkam dan menahan perasaan terhadap sikap-sikap Yves yang
sering menyakitkan. Namun, setelah dia
melihat Yves pergi dengan wanita lain, dia tidak lagi mampu mempertahankan
kesabarannya. Dini merasa baru kali itulah dia menderita kerisauan yng menindih
dan sangat membebani dadanya. Sakit hati dan kemarahannya tidak terbendung
lagi. Menghadapi kemarahan Dini, Yves hanya bersikap biasa saja. Yves sebagai
suami tidak memahami perasaan seorang wanita, terutama perasaan Dini.
Ketidasadarannya akan hal ini membuat Dini semakin sengsara. Peristiwa ini
menyadarkan Dini bahwa pada dasarnya dia tidak bisa selamanya menjadi wanita
yang tegar
Sifat pelit yang dimiliki Yves
juga merupakan masalah yang sangat menguji kesabaran Dini. Setiap akhir bulan,
Yves selalu memeriksa buku pengeluaran belanja rumah tangga sehingga tidak
mudah bagi Dini untuk membeli sesuatu yang baru. Saat anak mereka lahir dan
memerlukan susu tambahan, Yves sangat keberatan karena susu tambahan yang
mereka beli dirasa terlalu mahal. Untuk mengatasi hal itu, Dini terpaksa harus
putar otak. Supaya gizi terpenuhi, Dini terpaksa meramu sendiri asupan untuk
anaknya, Lintang. Tidak sampai di situ saja Dini terpaksa harus secara
sembunyi-sembunyi membelikan susu untuk
Lintang. Hal ini memperlihatkan
bahwa Dini sebagai seorang ibu sangat bertanggung jawab. Ia tidak mau anaknya
kurang gizi hanya karena Yves tidak mau membelikan susu. Akhirnya Dini melakukan apa saja untuk kesehatan anaknya.
Perhatian Dini terhadap
anaknya sebenarnya sudah dilakukan sejak anaknya dalam kandungan. Dini selalu
mengajak berbincang-bincang meskipun sang anak belum lahir. Ternyata apa yang
dilakukan Dini sangat berpengaruh terhadap sang anak di kemudian hari. Dalam
usianya yang baru dua bulan, sang anak sudah pandai ’mengoceh’. Di sini
terlihat citranya sebagai seorang ibu patut ditiru karena dia telah
melakukan pendidikan sejak anak masih dalam kandungan.
Meskipun Dini sudah tinggal di
Jepang, ia tidak pernah meninggalkan budaya Jawa. Misalnya, ia melaksanakan ’cande ala’ yaitu membawa atau mengajak
anak masuk ke dalam rumah saat senja datang. Untuk hal yang berkaitan dengan
kebiasaan-kebiasaan ritual yang dilakukan Dini, Yves tidak pernah
mengkritik Ritual Jawa yang juga masih
dilakukan Dini adalah saat anaknya masih bayi yaitu dia selalu menyelipkan
pisau lipat atau gunting kecil di bawah bantal atau sprei yang konon dipakai
sebagai tambahan penjaga anak saat si anak ditinggal si ibu. Tradisi Jawa
lainnya yang masih dijalani Dini adalah tedhak
siti (turun ke tanah). Tedhak siti dilakukan Dini pada saat usia Lintang mencapai tujuh
bulan. Jadi, saat itu Lintang diturunkan kemudian dia disuruh mengambil salah
satu benda yang ditaruh di tanah. Menurut tradisi Jawa, barang yang diambil si
anak akan menggambarkan sifat atau pekerjaan si anak di kemudian hari.
Membuat bubur
merah dan putih yang juga merupakan tradisi Jawa masih sering dilakukan oleh
Dini. Misalnya, setelah pernikahannya dengan Yves juga saat lintang lahir
maupun saat Lintang tedhak siti.
Beberapa tradisi jawa yang masih dilakukan Dini menunjukkan bahwa dia masih
mempertahankan citranya sebagai orang Jawa meskipun dia tinggal di negri asing.
Sebagai istri seorang diplomat
pada dasarnya Dini juga ingin berpenampilan menarik. Misalnya, dengan memakai
pakaian atau asesoris yang menarik dan pantas, tetapi karena sifat pelit Yves,
Dini terpaksa harus meminjam atau bertukar pakaian dengan Bu Miskun (istri diplomat
yang juga bertugas di Jepang). Kondisi ini semakin memperjelas citra Dini
sebagai istri yang nrimo. Usahanya
untuk menegur sikap Yves tidak pernah
berhasil karena dengan orang di rumahnya, dia harus menang. Yves harus
didengarkan dan diikuti pendapatnya.
Dini tidak saja digambarkan
sebagai istri dengan citra yang baik, tetapi juga digambarkan sebagai seorang wanita yang mempunyai citra
seni yang tinggi. Dia tidak saja mempunyai ketertarikan di bidang seni sastra,
tetapi juga seni-seni yang lain seperti seni tari, seni drama. Bakatnya di
bidang sastra tetap dikembangkan meskipun dia sudah berkeluarga. Beberapa novel
sempat dibuatnya dengan berlatar Jepang, misalnya Namaku Hiroko. Novel tersebut terwujud berkat kepiawainnya di
bidang tulis menulis. Dia juga menyukai seni drama dan seni tari. Di Jepang
seringkali Dini menyempatkan diri menonton Kabuki
yaitu sebuah pertunjukkan rakyat kuno yang kemudian digarap secara modern,
namun tetap mempertahankan pakem tertentu. Kabuki
merupakan tontonan yang semuanya dipentaskan oleh para aktor laki-laki.
Dini tidak saja tertarik pada
dunia seni tari, bahkan dia mampu menari beberapa tarian Jawa. Pada suatu
ketika secara spontan Dini diminta untuk menarikan tari lilin, permintaan itu
sempat ditolaknya karena dia belum pernah menarikan tari itu. Namun, karena
dipaksa, ia melakukannya juga. Ternyata
Dini mampu menarikan tari lilin dengan baik. Ini membuktikan bahwa Dini
mempunyai apresiasi yang baik terhadap seni tari.
Pernah pada pertunjukan amal, Dini menarikan
tari Golek Lambangsari. Tarian
tersebut oleh para konsul dan perwakilan
dagang asing maupun Jepang yang hadir pada saat itu ditaksir dengan
harga tinggi. Kala itu banyak yang memuji tarian Golek Lambangsari yang dibawakan oleh Dini, tetapi tidak bagi Yves.
Yves justru mengkritik dan tidak menyambutnya dengan baik seperti halnya orang
lain. Menghadapi sikap Yves yang
demikian itu Dini tetap tabah dan sabar. Bahkan dengan sadar dia mengatakan
bahwa maskipun Yves mempunyai banyak kekurangan, namun dia bukan lelaki yang
jahat. Dia hanya menjengkelkan untuk diajak sealur dengan cara hidup yang
disukainya. Dini justru beranggapan bahwa mungkin karena sifat-sifatnya yang
terlalu peka sajalah maka dia belum menerima kebiasaan-kebiasaan Yves (hl. 293).
Meskipun Dini sudah mengklaim
bahwa Yves bukan orang jahat, Yves di berbagai hal tetap tidak suka melihat
kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Dini. Bahkan dia tidak pernah mendukung
kegiatan positif yang dilakukan oleh Dini. Misalnya, Dini harus
sembunyi-sembunyi untuk melakukan kegiatan kreatifnya yaitu menulis novel. Misalnya,
Namaku Hiroko adalah novel yang
ditulis oleh Dini saat-saat Yves berada
di kantor. Bahkan, Dini harus berpura-pura sakit supaya dia mempunyai kesempatan
yang banyak untuk menulis.Yves tidak
pernah membiarkan Dini mempunyai waktu luang untuk menulis. Bahkan, Dini pernah
merasa terhina ketika Yves mengatakan bahwa tulisannya tidak dapat dijual. Dini
pun sadar bahwa Yves secara tidak langsung telah menekan kegiatan intelektual
yang dilakukannya. Perlakuan Yves yang selalu mengecilkan eksistensi Dini,
dihadapi Dini dengan penuh kesabaran.
Dini dicitrakan juga sebagai wanita yang
tidak pernah mau diam. Dia selalu mengisi waktu luangnya dengan berbagai
kegiatan. Dini mengatakan bahwa waktu luangnya banyak digunakan untuk menyerap
semua pengalaman dan pengetahuan yang tersaji. Hal-hal yang dilakukannya antara
lain: membaca, menonton film, menelusuri kota Kobe dengan cara naik bis, naik
trem, atau berjalan kaki. Oleh karena itu, pengetahuannya tentang kota Kobe
melebihi suaminya. Ia juga belajar bahasa Jepang. Dalam waktu kurang dari tiga
bulan, dia sudah mampu berbicara dengan bahasa itu. Hal ini menandakan bahwa
Dini mempunyai citra sebagai wanita yang cerdas.
Kegiatan
lain yang dilakukan Dini adalah belajar merangkai bunga (ikebana). Dengan kepekaannya, dia mampu menyerap secara cepat
prinsip-prinsipyang ada pada seni ikebana. Belajar memasak makanan Perancis,
belajar menngunakan mesin jahit, menyulam juga merupakan kegiatan yang
dilakukan saat-saat menunggu kelahiran anak pertamanya. Menulis novel adalah
kegiatan yang tidak pernah ia tinggalkan. Hal ini ia lakukan untuk menunjukkan
kepada orang-orang Indonesia bahwa meskipun sudah tinggal jauh, ia masih eksis
di dunia itu
Dari penjelasan
mengenai aspek fisik dan psikis di atas maka dapat diperoleh citra Dini sebagai
berikut. Ditinjau dari aspek fisik, Dini adalah wanita yang aktif dan dinamis. Ia seorang wanita yang cantik . Kecantikan Dini
inilah yang membuat Yves kemudian menikahinya. Kemudian secara psikis, Dini
seorang wanita yang cerdas, pandai, sabar, dan tabah. Kecerdasan dan kepandaian
yang dimiliki Dini mendorongya untuk menjadi penulis karya sastra yang terkenal
sampai saat ini. Namun, kepandaian ini yang kadang-kadang membuat Yves menjadi
iri. Rasa iri Yves terhadap Dini sering dirtunjukan dengan sikap Yves yang
menyakitkan. Dengan kesabaran luar biasa Dini menghadapi itu semua.
b. Citra Sosial Dini
Kecerdasan serta kemampuan
Dini dalam berbagai bidang menuntunnya ke pergaulan yang luas. Kemampuannya
menulis sastra, misalnya, mendekatkan dirinya kepada nama-nama yang tidak asing
di negeri ini, seperti H.B. Jassin, Ayip Rosidi. H.B. Jassin dikenal sebagai
kritikus sastra Indonesia, sedangkan Ayip Rosidi adalah sastrawan Indonesia.
Sebagai sesama orang yang bergerak di bidang sastra, Dini mampu menjalin
hubungan yang baik dengan mereka. Bahkan, ketika Dini sudah tidak lagi tinggal
di Indonesia, hubungan dengan sesama sastrawan masih tetap berlanjut melalui
surat.
Tidak terputusnya hubungan
Dini dengan H.B. Jassin atau Ayip Rosidi dikarenakan dia tetap meneruskan
aktivitasnya sebagai seorang penulis. Meskipun kegiatan ini tidak didukung oleh
suaminya, Yves, Dini tetap jalan terus dan pantang mundur. Namaku Hiroko adalah salah satu novel dari Dini yang cukup terkenal
yang ditulisnya dengan cara sembunyi-sembunyi.
Lingkungan baru, tidak membuat Dini menjadi
asing karena dia mampu beradaptasi secara cepat, baik dengan lingkungan
masyarakat maupun lingkungan alam.Dini tidak saja mampu menjalin hubungan baik
dengan orang-orang Indonesia, tetapi juga dengan orang-orang di lingkugan
barunya yaitu orang-orang Jepang.
Bahkan, ada wanita Jepang yang begitu
dekat sehingga sangat spesial bagi Dini, dialah Hiroko. Perjalanan hidup Hiroko
kemudian menjadi sumber inspirasinya, bahkan dia dijadikan tokoh utama untuk
novelnya yang berjudul Namaku Hiroko. Selain
Hiroko, Dini menjalin keakraban yang luar biasa dengan Mireille, wanita asal
Pulau Korsika. Bagi Dini, Mireille adalah sahabat seumur hidupnya.
Dini juga menjalin hubungan
yang baik dengan para istri diplomat Indonesia yang bertugas di Jepang yang di
antaranya adalah Mbakyu Miskun dan Tante Un. Mereka berdua juga sahabat Dini
yang begitu dekat. Karena begitu dekat, Dini tidak segan melakukan persetujuan untuk saling meminjamkan
pakaian, sepatu, dan sandal dengan Mbakyu Miskun. Perjanjian ini dilakukan Dini
karena sebagai istri seorang diplomat,
dia ingin berpenampilan baik dan
menarik.Untuk berpenampilan selalu menarik diperlukan uang yang banyak dan Dini
tidak pernah diberi uang lebih oleh Yves. Uang yang diberikan oleh Yves hanya
cukup untuk makan saja. Kepelitan Yves diketahui oleh sahabat-sahabatnya
sehingga mereka mau membantu Dini.
Dini perlu selalu
berpenampilan menarik saat dirinya ditunjuk untuk menggantikan posisi isti
konsul yang akan bepergian ke Eropa. Sebagai istri diplomat, Dini mampu
melaksanakan kewajiban sosial yang diberikan oleh seorang isti konsul yang
pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Kewajiban yang harus dilaksanakan
adalah mengunjugi rumah-rumah yatim piatu, panti jompo, yang ada hubungannya
dengan pemerintah Perancis. Pekerjaan ini dapat dikerjakan Dini dengan baik
karena dia mampu dengan cepat melakukan pendekatan-pendekatan dengan
lingkungannya.
Tante Un juga merupakan
sahabat Dini yang sangat dekat. Dini tidak segan-segan menitipkan anaknya untuk
beberapa hari pada Tante Un saat dia pergi jauh. Untuk kebaikan sahabat-sahabatnya itu, Dini tidak
pernah lupa untuk membawakan bingkisan.
Di sisi lain, ada beberapa orang yang tidak bisa dekat dengan dirinya.
Misalnya, wanita yang di mata Dini terlalu menonjolkan segi materinya atau
orang yang di mata Dini tidak pernah
membalas kebaikan orang lain.
Dari uraian di atas tergambar
citranya sebagai wanita yang pandai berterima kasih, pandai bergaul, dan pandai
memahami orang lain. Namun, kebaikan
Dini kadang-kadang dimanfaatkan oleh orang lain, seperti yang dilakukan oleh seorang
temannya di Bukit Tinggi yang tanpa
seizin Dini telah memproses pencetakan Hati
Yang Damai, sebuah karya yang ditulis Dini saat dirinya masih remaja. Harga
dirinya merasa diinjak-injak saat orang yang menerbitkan buku itu mengatakan
bahwa justru Dinilah yang harus berterima kasih kepadanya. Penerbitan buku itu
bagi Dini justru tidak memberikan kedamaian bagi dirinya karena dia sudah
merasa terlangkahi. Hak-haknya sebagai penulis seolah-olah diabaikan.
Hubungan Dini dengan
lingkungan keluarga, terutama kelurga yang berada di Jawa (Semarang) juga dijalin
dengan baik. Dalam arti,
meskipun Dini sudah tinggal lama di luar negeri dan ketika pulang, dia tetap
bisa akrab dengan keluarga. Dini sangat memperhatikan kepentingan keluarga,
terutama keluarga yang berada di Jawa (Semarang) juga dijalin dengan baik.
Dalam arti meskipun Dini sudah menjadi istri seorang diplomat, dia tetap
perempuan yang bersahaja. Dia tetap menjalin hubungan baik dengan keluarganya.
Bahkan, sesekali dia menyisihkan uang untuk keluarganya yang ada di Semarang.
Dari uaraian di atas dapat
diketahui bahwa citra sosial Dini terbentuk dari hasil interaksinya dengan
lingkungan sekitar. Ia mampu beradaptasi dengan lingkungan secara cepat.
Sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus sebagai istri seorang diplomat, Dini
mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Sebagai seorang penulis pun ia
mampu menjalani perannya dengan baik. Ia sukses menjalani semua perannya dengan
baik meskipun ada beberapa hambatan yang didapat dari suaminya, Yves
Selanjutnya citra wanita yang terungkap melalui tokoh utama adalah
citra wanita dewasa yang berpikiran modern. Dini sebagai tokoh utama dalam
novel ini digambarkan sebagai seorang wanita yang sanggup menjalankan dua
fungsi sekaligus. Ia tidak saja berperan sebagai istri dan ibu yang baik bagi
anaknya, tetapi juga dapat berperan sebagai seorang istri diplomat yang sanggup
mendamping suaminya. Selain
itu, Dini mempunyai peran yang lain, yaitu sebagai penulis karya sastra. Seni
sastra adalah bidang yang digeluti hingga sekarang. Sebenarnya Dini juga
tertarik pada bidang seni lainnya seperti seni drama dan seni tari, tetapi ia
lebih eksis di dunia sastra.
Kemampuan
Dini menangani berbagai bidang inilah yang kadang-kadang membuat sang suami,
Yves, menunjukkan sikap tidak sukanya pada sang isitri. Yves berharap Dini hanya
mengurus rumah tangganya saja dan tidak yang lain. Oleh karena itu, untuk
menyalurkan hobi menulisnya, Dini melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jika
hal ini diketahui oleh Yves, Dini disuruh mengerjakan pekarjaan rumah tangga.
Dari hal tersebut tergambar sikap Yves yang cenderung memarjinalkan perempuan.
Meskipun
Yves selalu menunjukkan sikap tidak suka akan kelebihan yang dimiliki Dini ia
tetap menunjukkan sikap patuhnya terhadap suami. Citranya sebagai wanita Jawa
tetap ditunjukkan meskipun hatinya seringkali berontak terhadap perlakuan
suaminya. Ia mampu bertahan terhadap sikap Yves yang tidak menyenangkan dan ia
juga bertahan untuk tetap eksis di bidang tulis-menulis. Dini menunjukkan bahwa
ia mampu menjadi wanita yang mendiri apapun rintangannya.
Simpulan
Citra wanita
yang terungkap melalui tokoh utama adalah citra wanita dewasa yang
berpikiran modern. Dini sebagai tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai
seorang wanita yang sanggup menjalankan dua fungsi sekaligus. Ia tidak saja
berperan sebagai istri dan ibu yang baik bagi anaknya, tetapi juga dapat
berperan sebagai seorang istri diplomat yang sanggup mendamping suaminya. Selain
itu, Dini mempunyai peran yang lain, yaitu sebagai penulis karya sastra. Seni
sastra adalah bidang yang digeluti hingga sekarang. Sebenarnya Dini juga
tertarik pada bidang seni lainnya seperti seni drama dan seni tari, tetapi ia
lebih eksis di dunia sastra.
Kemampuan
Dini menangani berbagai bidang inilah yang kadang-kadang membuat sang suami,
Yves, menunjukkan sikap tidak sukanya pada sang isitri. Yves berharap Dini
hanya mengurus rumah tangganya saja dan tidak yang lain. Oleh karena itu, untuk
menyalurkan hobi menulisnya, Dini melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jika
hal ini diketahui oleh Yves, Dini disuruh mengerjakan pekarjaan rumah tangga.
Dari hal tersebut tergambar sikap Yves yang cenderung memarjinalkan perempuan.
Meskipun
Yves selalu menunjukkan sikap tidak suka akan kelebihan yang dimilikinya, Dini
tetap menunjukkan sikap patuhnya terhadap suami. Citranya sebagai wanita Jawa
tetap ditunjukkan meskipun hatinya seringkali berontak terhadap perlakuan
suaminya. Ia mampu bertahan terhadap sikap Yves yang tidak menyenangkan dan ia
juga bertahan untuk tetap eksis di bidang tulis-menulis. Dini menunjukkan bahwa
ia mampu menjadi wanita yang mendiri apapun rintangannya.
DAFTAR RUJUKAN
Dini, N.H. 2000. Jepun Negerinya Hiroko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Djajanegara, Soenaryati. 2000. Kritik
Sastra Feminisme Sebuah Pengantar.
Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Sofia, Adib dan Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra: Menguak
Citra
Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Kartasis.
Sugihastuti dan Suharto. 2002. Kritik
Sastra: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar